[2/2] In The Brick of Decent

in-the-brick-of-descent

September 2016©

In The Brick of Decent

Final Edition [2/2]

.

Bae Suzy, EXO Oh Sehun, Kim Jongin/Kai, slight appearances from Red Velvet Bae Joohyun/Irene and EXO Zhang Yixing/Lay | AU!Kingdom and Historical, Action, Drama, Family, Friendship, Sad, Thriller, Tragedy | Two-shoot [this chapter gathers around 3063++ words\ | PG 17 | disclaimer: beside the story-line and poster, I own nothing.

Previous, here!

.

.

… “Kau terlalu berharga untukku, Suzy.” …

.

.

Pangeran Kai atau yang lebih kami kenal sebagai Panglima Perang tak pernah absen mengikuti gelaran latihan setiap malam yang rutin dilaksanakan. Beliau merupakan putera mahkota tertua dari kerajaan yang bertahta di wilayah Timur.

Usut punya usut, Panglima Perang kami memilih untuk menunda penobatan sebagai putera mahkota demi melindungi keutuhan kerajaan dan warga dari serangan musuh. Pengangkatan sebagai panglima perang olehnya diraih dalam kurun usia yang begitu belia, belum genap duapuluh tahun, terjadi usai berakhirnya letusan perang saudara pertama.

Alasannya pun bukan semata-mata beliau anak raja ataupun jago berperang, yakni kembali pada pilihan Langit di atas sana. Begitu kata mereka yang meyakini adanya kekuatan tersembunyi nan suci di atas langit.

Menjadi satu-satunya prajurit wanita di pasukan perang legiun terdepan tentulah sebuah kebanggaan bagi diriku sendiri. Tidak banyak bahkan tidak ada sama sekali wanita dari kerajaan kami yang ingin terlibat dalam peperangan. Paling-paling segelintir yang ada juga terpaksa dan memilih untuk mengisi kantong-kantong tenaga medis, juru masak, ataupun tenaga sukarelawan yang bertugas memasok dan memenuhi kebutuhan logistik kamp. Perbandingannya satu banding seratus yang terjun langsung bergerilya ke medan perang. Dan satu dari seratus itu sayangnya hanya aku.

Memanah adalah keahlian yang aku punya. Itu sebabnya aku termasuk ke dalam barisan pemanah yang bertugas melindungi pasukan utama dari amukan serangan musuh. Keahlian memanah aku dapat dari ayah karena beliau juga prajurit pemanah terbaik yang pernah ada di negeri kami. Sedikit bekal yang mendiang ayah beri kepadaku dalam hal memanah sebelum beliau tewas di tengah peperangan.

Begitu juga dengan mendiang ibu yang meninggal ditikam oleh musuh saat menyerang desa kami di tengah malam yang mencekam. Kedua orangtuaku merupakan prajurit kerajaan. Ibu seorang ahli pedang wanita pertama di generasinya dan ayah seorang pemanah terbaik. Bukankah aku memiliki kombinasi yang bagus.

Ah, tetapi untuk apa aku berbangga diri atas kematian orangtuaku?

***

Denting ujung pedang yang saling bersinggungan mengisi kesenyapan tengah malam di area pasukan kami bermarkas, kamp Yaenda. Para prajurit bersenjata pedang saling mengasah kemampuan satu sama lain. Raut wajah mereka pun menegang seiring dengan intensitas gelut yang meningkat.

Di lain sisi, pasukan pemanah juga menenggelamkan diri dalam euforia berlatih. Sebagian dari kami menancapkan fokus pada sasaran dan hal itu tidak dilakukan dengan mudah. Pasalnya, para pemanah tidak hanya fokus di tempat berpijak saja, melainkan dituntut untuk bergerak ke sana-ke mari, hindari halang dan rintangan.

Giliran aku berlatih sudah selesai. Hasilnya sepuluh target berhasil aku eksekusi dengan sempurna tanpa kesalahan. Rekan-rekan prajurit yang lain juga tidak beda jauh dariku. Waktu yang menunjukkan pukul tengah malam menandakan sesi latihan kali ini mencapai batas akhir. Seluruh prajurit yang mengikuti latihan kali ini pun dibawa ke dalam satu apel singkat yang dipimpin langsung oleh Panglima Kai.

Bubar sesi latihan tidak serta merta membawaku menuju kamp perisitirahatan yang terletak tujuh tenda setelah bilik utama yang didiami sang Panglima.

Seiris bulan sabit yang menggantung di langit menjelang dini hari lantas membawaku pada duka masa lalu yang sulit dicerna oleh waktu. Bahkan yang ada, semakin hari luka itu kian menganga dan menajamkan keinginan untuk segera membalaskan dendamnya. Ya, misi aku ikut perang akhirnya ketahuan juga di bagian ini.

Balas dendam. Alasan paling klise yang pernah ada di dunia ini.

Kehilangan orangtua sejak kanak-kanak tentu bukan peninggalan kehidupan yang berharga apalagi patut dipamerkan kepada khalayak luas. Menjual kesedihan demi setitik kebahagiaan. Peminta-minta perhatian dan empati orang lain, aku tidak terlahir ‘tuk menjadi orang seperti itu.

Dalam sedu sedan para jangkrik, aku menangkap suara dua lelaki yang saling berucap. Aku ragu tapi satu dua suara itu rasa-rasanya aku kenali.

“Ini bukan ide yang bagus. Aku sudah bilang ‘kan kepadamu.”

“Aku juga sudah bulang ‘kan kepadamu, keputusan ini sudah dilegalkan oleh para dewan pertahanan dan petinggi pasukan yang lain. Apa lagi yang ingin kautentang?”

“Semuanya! Tidakkah kau menyadarinya? Keinginan yang kuat untuk membalas dendam hanya akan membahayakan dirimu sendiri, kita semua malah. Dan, itu lebih besar daripada bahaya yang akan menimpa pihak lawan.”

“Halah, tahu apa kau soal perang?!”

“Kakak!”

Redupnya cahaya dari lampu minyak dalam ruangan memang hanya menyisakan dua bayangan hitam yang tak begitu kentara. Siluet dua lelaki yang saling melempar ucapan terpeta melalu serat-serat kain dari bilik utama si Panglima. Aku merasai perbincangan ini terlalu internal sehingga memutuskan untuk segera mengabsenkan diri dari situ. Namun, belum sempat aku mengangkat busur dan anak panahku, suara seseorang yang sebelumnya sempat menjeda hati, tiba-tiba terdengar kembali. Tetapi kali ini tentu tidak ditujukan kepadaku.

“Aku memang tidak tahu apa-apa soal perang, aku akui itu, Kak. Tapi kumohon jangan berbuat gegabah. Apa yang dipikirkan oleh para dewan perang dan petinggi lainnya sudah tidak berlaku pada masa kini. Terlalu kolot, Kak. Kita perlu strategi yang baru, yang lebih mumpuni.”

“Bukan begitu maksudku. Tapi, hanya saja, maaf. Aku terlalu emosi. Sehun, kumohon dengar, “

Sehun? Si anonim peran yang satu itu? Kuharap aku salah dengar.

“Kehidupan ini tidak lebih hanya sekedar roti, air, dan bayangan. Maka, tak payahlah kita melemahkan diri di hadapan musuh. Sehun, aku tahu kau pun tahu betul, luka yang membekas di hatimu, siapa yang buat? Mereka ‘kan. Musuh kita. Kita tentu tidak patut berdiam diri seperti ini.”

“Kak, kumohon mengertilah sejenak, “

“Sehun, kau juga harus memahamiku. Dan, berhentilah menyalahkan dirimu sendiri atas luka yang orang lain buat untukmu. Kematian Irene bukan salahmu!”

Irene, mendiang Puteri Irene, sang sulung dari kerajaan kami, diakah yang mereka maksud? Lalu, apakah Panglima kakaknya Sehun? Kalau benar Sehun adalah adik dari Panglima, ia pasti putra mahkota Raja. Tetapi mengapa selama ini Sehun menyembunyikan identitasnya?

Sekian detik terbuang oleh kelenggangan yang menyapa. Aku tak mendengar lagi obrolan kakak-beradik di dalam tenda tersebut. Jujur saja, aku sendiri ikutan bimbang.

Begitu banyak tanya saling berdesakkan untuk menerima kejelasan. Kematian Putri Irene di masa lampau memang menjadi duka seantero negeri kala ibukota pemerintahan diserang musuh saat tengah malam.

Penyerangan ala-ala pengecut itu menjadi tragedi pembantaian terlaknat sepanjang sejarah kerajaan. Wanita dan anak-anak dibantai sama rata. Situasi kerajaan yang begitu lengang lantaran hampir seluruh prajurit diterjunkan ke area perang membuat kerajaan mengalami kekalahan besar dan telak.

“Kak Irene, jika dia masih bersama kita,

Aku berpendapat yang bersuara barusan adalah Sehun. Entah mengapa aku jadi begitu paham dengan vokal lelaki jangkung itu.

Selanjutnya, Sehun menuangkan sepintas jeda pada perkataannya dan melanjutkan dengan,

“… dia juga pasti akan menentang keputusanmu.”

.

‘Boom!’

‘Duarr!’

‘Boom!’

“Pasukannnn!!!”

“Musuh datang menyerang!!! Bersedia semua!!!”

“Ambil senjata kalian!!!”

“Serang!!”

‘Boom!’

‘Duarr!’

.

.

.

Keheningan malam yang mengalun begitu damai terserempak menjadi kegaduhan prajurit yang segera bersiap di posisi masing-masing. Dentuman meriam seketika merebak di kamp perang Yaenda. Asap hitam pekat pun mengepul di udara dan berasal dari tenda dapur umum yang berjarak 100 meter dari tempatku.

Panglima Perang dan Sehun serta merta keluar dari bilik. Dan, pada saat itulah aku berpandangan muka dengan Sehun. Ia melantunkan senyuman tipis dari bibirnya.

Namun, tiba-tiba senyuman semanis madu itu membeku seiring dengan langkah seribu yang ia lontarkan menuju tempatku. Dalam kecepatan angin, tahu-tahu Sehun sudah mendekapku. Aku ikutan membeku. Bukan karena dekapan lelaki ini yang terasa begitu melekat melainkan pekikkan seseorang yang tertusuk dan desingan pedang yang menembus kulit manusia.

Lelaki itu masih enggan melenyapkan ketenteraman yang bersifat kontradiksi dalam hingar bengar serangan tengah malam musuh. Tarikan napasnya benar-benar terlampau dekat denganku hingga menembus serat-serat kulit. Melalui sebaris tatapan yang begitu menusuk palung dalam diriku, Sehun mematenkan jarak yang tak terbentuk di antara kami.

“Prajurit itu tidak boleh lemah dan lengah, “ lafalnya.

Belum sempat aku berucap, tiba-tiba kilatan pedang di belakang Sehun menyegerakanku untuk menarik lelaki itu lebih dekat hingga memutarbalikkan posisi kami. Pedang yang sebelumnya Sehun genggam, aku rebut darinya dan segera kuhalau hunjaman pedang musuh terhadap punggung Sehun. Prajurit musuh itu pun terjatuh saat mencoba bangkit karena sebuah anak panah menancap tepat di lehernya.

Selanjutnya, aku segera menarik diri dari dekapan Sehun. Kami masih saling bertatapan seperti orang bodoh namun teriakan Panglima Perang alias kakaknya Sehun menyadarkan kami dari kebodohan yang merajalela.

“Hei! Urusan romansanya ditunda dulu!”

Kami seperti berada dalam dimensi yang berbeda. Tetapi, seruan Kai mengembalikan kami ke tengah hingar bingar peperangan. Padang edelweiss yang damai namun menyembunyikan pilu itu sepintas dikunci mati oleh sergapan si jago merah yang menghanguskan. Aku terpana oleh scenery barusan. Sejurus kemudian, Sehun melenggut lembut kepadaku seraya menerima pedang yang Kai ayunkan kepadanya.

Pedang itu!

Pedang yang selama ini menghilang keberadaannya kembali lagi. Pedang Safir Saudara yang hanya dimiliki oleh para putera kerajaan. Dan, kini Sehun sedang menggeggamnya teguh seolah pedang itu adalah anggota tubuhnya.

Perubahan diri benar-benar terpeta pada seorang Sehun yang berdiri di hadapanku sekarang. Pedang yang berada di genggaman Sehun pisahkan gagangnya sehingga menjadi dua bagian tipis yang tidak mengurangi intensitas keruncingan masing-masing mata pedang.

Macan yang selama ini terlelap dalam pria itu terbangun sudah. Amarah yang bergelegak terpancar melalui pancaran bola matanya. Peran yang selama ini Sehun sembunyikan terpampang begitu nyata.

Seorang prajurit ahli pedang garis keras. Putera mahkota muda kerajaan kami. Kelembutan dan belas kasih yang Sehun tunjukkan kepada semua orang di kamp Yaenda selama ini malah hilang tak berbekas. Gurat wajahnya kukuh, senyumnya sedingin butiran salju.

Sehun berjalan cepat menuju belakangku sebelum ia mengayunkan kedua pedangnya, menghabisi lawan yang berdiri tepat di belakangku.

“Hei, bergerak ke arah sana, cepat! Lindungi aku!” sejurus kemudian pinta Sehun kepadaku.

Dan, yang aku lihat selanjutnya benar-benar sebuah kemampuan berpedang tingkat dewa. Hanya dalam sekejap Sehun mampu menghabisi para musuh dengan ketangkasan dan kepiawaian bergelut menggunakan pedang kembarnya.

Seperti yang ia pinta, pada posisi muka aku lindungi dia dari serangan jarak jauh. Puluhan anak panah pun aku lesatkan dalam sekelebat.

Huru-hara serangan dadakan di markas prajurit kerajaan makin menjadi. Prajurit kerajaan pun banyak yang berjatuhan dan sebanding dengan musuh. Malam semakin menghitam dengan kepulan asap dari meriam yang diledakkan. Ledakan serta teriakan saling tumpang tindih di udara.

Usaha maksimal mengundang rasa letih tiba lebih cepat. Hal ini lekas aku sadari ketika mendapati serangan yang dilesatkan beberapa kali tidak tepat sasaran. Namun aku mengacuhkannya. Takkan kubiarkan tenagaku yang mulai menipis itu mengalahkan keinginanku yang makin menguat untuk melindugi seorang Sehun.

“Pemanah terbaik kita sepertinya sudah mulai kelelahan, hm?” cetus Sehun.

Sejurus kemudian, aku menoleh ke arah Sehun dan mengikatnya dengan tatapan yang berkata ‘aku tidak lelah’. Aneh, dia malah tersenyum ngilu.

“Beberapa kali anak panahmu melewati sasaran. Lebih baik kau pergi ke barisan belakang, “ perintahnya.

“Tidak bisa. Siapa yang akan melindungimu dari serangan jarak jauh, huh?” tolakku langsung. Tanpa sadar aku menaikkan nada bicara kepada Sehun.

“Aku bisa melindungi diriku sendiri. Tak perlu cemas soal hal itu,” tegasnya.

“Kau meremehkanku?!” Aku membalikkan badan sehingga langsung berhadapan dengan pria jangkung itu.

Namun, tiba-tiba pandangan Sehun melebar seiring dengan pelukan yang lagi-lagi aku terima. Juga dengan sepasang mata merah yang ada di belakang kepala Sehun. Aku tidak dapat berpikir apa-apa. Pikiranku terasa kosong. Apalagi saat aku mendengar erangan tak berbisik dari pria yang sedang mendekapku dengan erat.

“TIDAK!!!”

‘Srakk!’

Tanpa ampun, Kai langsung menyerang musuh yang menusuk Sehun. Aku sendiri ambruk bersama Sehun yang mulai kehilangan kesadaran. Senyum kuyu membasahi bibirnya yang bergerak-gerak seolah ingin berucap. Merahnya merah yang merembes di sekujur perut pemuda itu ikut melingkupi baju zirah yang aku pakai.

Dunia beserta runtuhannya menelan seluruh kesadaranku. Aku tidak sanggup berbuat apa-apa kecuali membatu selayaknya prasasti. Bukannya membawaku pada permukaan realita, sang masa malah mendatangkan kembali tragedi yang menyeret persona orangtuaku di dalamnya. Dadaku lagi dibuat hampa lantaran mendapati ibu yang ditikam pedang oleh musuh.

“Ibu!!! Tidakkkk! Jangan pergi dariku!!!”

“Aku tdak mau ditinggal sendiri oleh Ibu!!”

Terowongan penuh derita kembali tergambarkan secara dengan jelas. Namun kali ini, rasanya tak terhitung berapa kali lipat sakitnya yang mendera. Dimensi antar ruang dan waktu yang memilukan itu kembali menjatuhkan presensiku di tengah pahitnya kenyataan yang kembali mesti aku lalui.

Sehun masih belum menutup matanya. Bibirnya pun berucap sesuatu yang tak bisa lagi aku mengerti apa maksudnya. Airmataku tiada henti mengalir. Untaian doa tak tersuara aku lantunkan dalam hati sekuat tenaga kepada Langit.

Tuhan, jika Kau memang ada, selamatkan Sehun!!

Kesakitan benar aku tahu tengah Sehun rasakan. Kedua mata hijau zamrud miliknya pun mengambil-alih fungsi berbahasa mulutnya, memintaku untuk tetap tenang dan tak bergerak. Omong kosong macam apa ini?! Bagaimana mungkin seseorang bisa tenang jika disandingkan dengan kematian?!

Kekosongan dan kehampaan mencabik-cabik habis pita suaraku sehingga aku tidak dapat berkata apa-apa. Hingar bingar peperangan tak aku pusingkan lagi. Para tenaga medis satu persatu berdatangan dengan tandu. Tanpa banyak bicara mereka mengangkat tubuh Sehun yang bersimbah darah.

Seorang kepala tabib yang aku kenal kemudian memapahku. Seolah ia tahu aku sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi. Aku sudah ditinggal kabur oleh jiwa dan ragaku.

***

Malam telah berganti jadi hari. Reruntuhan bekas penyerangan semalam menyisakan lubang hitam yang mengangkat duka. Begitu juga dengan kerugian baik material maupun moril yang harus kami terima. Hampir seluruh tenda ludes terbakar habis kecuali barak pengobatan yang berhasil terselamatkan.

Asap pekat melonjak di angkasa dini hari. Sekawanan burung gagak dengan paruh kuningnya juga meniadakan sekat dengan langit, menandai jika kematian dan kegelapan barusan bertahta di kamp Yaenda malam tadi.

Berbekal perban yang dibalut pada lengan kiri dan kesenyapan yang jamak, aku menunggui Sehun yang masih belum siuman sejak beberapa waktu yang lalu.

Seusainya ditangani oleh Tabib Zhang, Sehun menjadi tak sadarkan diri. Beruntung tusukan yang diterima tidak mengenai organ vital pria itu namun tetap saja, toh, tidak ada yang bisa diuntungkan dari kejadian ini. Pria itu hampir tewas lantaran melindungiku. Melindungi tokoh anonim seperti aku memiliki nol keuntungan. Sungguh tidak seharusnya dia bisa berlaku begitu.

Kai, si sulung, barusan menyuruhku untuk segera rehat. Tetapi aku dengan halus mengabaikannya. Sang panglima lantas membiarkanku bersama dengan Sehun setelah semalaman tiada jemang ia sumbangkan kepada masa untuk beranjak dari sisi sang bungsu.

Sesungguhnya senyum penegasan yang Kai lempar kepada setiap orang yang ditemuinya perihal keadaan Sehun tak lain dan tak bukan adalah penguatan diri sendiri. Jauh di dasar hatinya, betapa remuk dan hancurnya perasaan sang kakak melihat sang adik terkapar di medan perang tentu bukan barang yang bisa Kai anggap sebagai angin lalu.

Ketika orang terkasih yang sangat kalian sayangi terluka entah itu lantran kesalahan kita di depan mata kepala sendiri dan tidak mampu berbuat apa-apa adalah satu dari dua siksa jiwa di dunia yang kejam ini.

Aku tentu paham betul. Toh, perasaan itu, aku sudah kepalang kebal menghadapinya.

Menyudahi kesenyapan, aku terangi seluruh atensi pada jemari Sehun yang kini tergenggam erat dengan jemariku. Dengan hati-hati aku mendaratkan kecupan di atas tangan Sehun yang sedingin kepingan salju di musim dingin.

Sekarang aku tahu peran apa yang dia emban selama ini. Jawabannya padahal sudah jelas ada di depan mataku sendiri. Oh manusia. Mengapa kau selalu terlambat untuk menyadari hingga selalu berakhir dalam sebuah penyesalan.

“Kau terlalu berharga untukku, Sehun.” bisikku dengan lembut.

Seraya meniadakan jarak di antara kami, aku dekatkan alat tuturku pada telinga Sehun. “Mengapa harus aku? Pengorbananmu untukku, itu, bagaimana caranya agar aku bisa membayarnya? Aku memiliki prinsip, kalau sesuatu yang orang lain telah berikan kepadaku, kapanpun dan bagaimanapun aku akan mengembalikan hal tersebut dengan seimbang.”

“Aku tidak suka berhutang.” Aku mengatakan hal tersebut dengan penuh penekanan. Sekumpulan anak rambut yang berjatuhan di atas dahi pualam Sehun aku usap dengan sangat lembut, setara dengan sedang mengelus puncak kepala anak bayi.

“Melihatmu terbaring di sini, kaupikir aku senang? Apa kau sudah lelah membantu mengurangi duka dan menebarkan kebahagiaan kepada semua orang di kamp ini?”

Hujan meteor sedang terjadi dalam hatiku. Aku tidak tahu dengan pasti mengapa, tetapi satu hal yang pasti adalah hati ini sedang berbantah-bantah dan sarat akan penyangkalan.

Aku tidak bisa membiarkan Sehun seperti ini. Tidak benar jika aku menggulung waktu tanpa berbuat sesuatu yang diperlukan. Untuk yang kesekian kalinya, hati ini tidak bisa ditinggal pergi lagi.

Pada sisi ranjang yang tersisa sejengkal aku mengheningkan cipta. Aku menunduk tanpa melepas genggamanku dengan Sehun. Lelah yang aku rasakan berasal dari dimensi yang tak berkesudahan. Didominasi oleh duka yang membuatku semakin terpuruk.

Akan tetapi, dalam peraduan jemang yang tersepuh oleh waktu, aku merasakan sebuah pergerakan kecil namun statis pada genggamanku. Dan, lama-kelamaan timbul kehangatan yang beberapa waktu ke belakang menyalurkan rindunya dengan dahsyat. Sontak menegadah aku ke atas muka persona yang kehadirannya lagi meresapi ke dalam tulang-tulang di tubuhku.

Gerakan jemari yang lunglai itu terasa lagi. Jantungku akhirnya menemukan caranya untuk berdetak kembali. Mata yang menyimpan sejuta pesona itu mengerjap dengan sangat pelan. Laju ekspresif pada bibirku juga berhenti melupakan kodratnya dan tersenyum lagi.

Melalui sebaris aksara yang menjuntai dengan indah melalui tatapan mata, Sehun menyapaku lagi dalam sebuah kenyataan. Airmata yang seharusnya berdiam diri, lajunya tak bisa aku kendalikan. Hatiku akhirnya bisa merasakan senyumannya lagi.

Gurat fajar menyelaraskan warna keemasannya pada tiap helai surai legam milik Sehun. Senyum yang merindu itu ia berikan. Lengkap selagi ia mengukuhkan eksistensinya sebagai hadiah Tuhan paling indah.

Dan, satu dua hal yang melenyapkan suka pada wajahku adalah ketika, “Malaikat memang bisa menangis?” yang Sehun ucapkan meski dengan susah payah.

“Senang bisa—argh!” Sehun meringis perih. Luka tusukan di perutnya seolah menamparnya agar ia tidak perlu banyak-banyak membuka mulut.

Aku hanya menatapnya dan memilih tidak mengatakan apa-apa. Sehun tergugu lantas kembali mengusahakanku untuk bersuara untuknya. Yang usahanya itu juga diselingi oleh erangan nyeri dan ngilu.

“Suzy? Kau tidak senang—argh, sakit sekali!—melihatku sadar? Mengapa diam?”

Lagi, usaha mendekati maksimal itu pun lekas mendatangkan sentuhan tangan Sehun yang meremas jemariku, masih dalam genggaman hangatnya. Jujur, aku juga tak kuasa untuk berbicara apa-apa kepadanya.

“Suzy?”

“Pria sial.”

Bola mata hijau zamrud Sehun membelalak. Wajahnya sekonyong-konyong makin memucat.

“Dasar bodoh.” ungkapku dengan intonasi menurun yang aku buat semaksimal mungkin. ”Dulu, kaubilang aku tidak boleh jadi seseorang yang lemah. Namun lihatlah sekarang siapa yang sesungguhnya tak bertenaga dan terbaring di ranjang reyot ini, huh?”

Mempertahankan geming lagi Sehun peragakan. Uh aku juga perempuan sial. Orang baru sadar malah aku maki-maki. Pantas saja jika ia memilih untuk mematung. Belum lagi aku membuka mulut untuk meminta maaf, sentuhan manis di atas pipi aku rasakan dalam sekelebat. Sehun mengusap sebelah pipiku secara kordial.

“Maaf,” desah Sehun dan tangannya masih menugasi sentuhan manis itu di atas pipi. Matanya menerawang jauh ke dasar mataku dengan lekat. “Kautahu, bahkan aku rela melepaskan segala yang ada pada diriku untuk melindungimu. Segalanya akan aku lakukan untukmu.”

“Kau ini memang pria sial.” Aku menepis kasar jemarinya yang sedari tadi bersemayam di separuh wajahku. “Kau pikir kau ini siapa? Apa aku pernah memintamu untuk melindungiku?”

Wajah mulusnya yang didempul oleh baret sisa perkelahian semalam enggan memunculkan irama sakit hati lantaran perkataanku yang pahit. Sehun tanpa aba-aba menegakkan tubuhnya. Erangan kesakitan tentu masih mengekori.

Lain di hati lain di mulut yang bukan pada tempat dan waktunya ini sungguh memuakkan. Aku tidak bisa dengan mudah menunjukkan perasaanku yang sebenarnya. Ini sangat menjengkelkan.

“Kau terlalu berharga untukku, Suzy.”

“……”

“Untuk saat ini tak usah kau turuti yang berbantah-bantah dalam hatimu itu. Dengarkan suara hatimu baik-baik.“

Satu persatu dimensi ruang dan waktu antara aku dan Sehun perlahan menegasikan ruang yang dahulu saling memisah satu sama lain.

Tatapannya seteduh jingga dinihari. Ketegasan yang terang-terangan terkuak dalam tiap perkataannya. Tingkah laku minornya yang menyingkap helai rambutku, mengusap puncak kepala hingga turun ke wajahku dengan penuh kehati-hatian patut menyelaraskan diriku selayaknya gelas-gelas kaca yang sangat rapuh. Definit meyakinkan bahwa diriku cukup spesial bagi dirinya.

“Terimakasih sudah melindungiku. Maaf, aku sudah berkata kasar kepadamu. A-aku,”

Kedua tangannya yang lebar tiba-tiba menangkup wajahku dan mendekatkannya dengan wajahnya. Sehun menggeleng pelan.

“Kau cukup bilang ‘terimakasih’ saja itu sudah cukup, kok. Memangnya apa yang kaupikir aku harapkan darimu?”

“Eh, tidak ada?”

Sehun terkikik geli. Aku hampir saja menghilangkan nyawa sendiri saking tak kuat menahan malu akibat terlalu berpikir seribu kali lebih jauh. Imajinerku tentu tak dapat mengimbangi kepiawaian fantasi yang Sehun miliki.

Terulur tangan kiri Sehun menuju punggungku, menarik diriku agar lebih lekat dengannya. Separuh jiwaku tentu mengindikasi pada sebuah tradisi. Telapak tangan kanan Sehun yang masih bertahan di wajahku lagi pasti menggaet daguku. Pada seujung jarak yang terhitung sehelai kapas, senyum termanis kami berikan kepada satu sama lain.

Runtuhan sinar mentari pagi yang tergolek mesra menembus tiap helai surai legam Sehun yang turun di dahi. Mengikuti sinar hangatnya yang menggandakan sentuhan pada bibir lembutnya. Pertalian rasa ini tiada kuasa aku menghentikannya.

Lebih kuat pria berahang kukuh itu menarik tubuhku hingga tersesak di dadanya yang bidang. Lebih jauh dan dalam pula kehangatan mencumbu bibir masing-masing. Gejolak api biru dalam hati ini murni dan abadi. Tak akan pernah padam.

Untuk kedua orangtuaku, orang-orang yang aku sayang, kolega dan sahabatku. Akhiran bahagia memang patut diterima oleh seluruh manusia. Termasuk aku dan Sehun.[]

fin.

.

.

.


a/n:

  • kyaaaaaa!! halooo semua! Duh kangen banget sama temen2 di sini()
  • maaf sekali jarang apdet selama hampir dua bulan ini(siapa juga yang nungguin yah haha-_-) yah itu semua ada penyebabnya, gak saya pungkiri. seperti kesibukan menjelang UAS dan UAS itu sendiri serta satu tragedi paling miris, yakni, kabel adaptor yang kebakar-__-
  • duh jadi curhat..huhu. by the way, Uncontrollably Fond udah tamat semalam dan bagi yang tidak bisa move on dari depresi yang berkepanjangan semoga(semoga yawlah) fict ini bisa sedikit menghibur duka kalian dan Noeul T_T kalau kata Ardan mah, yang namanya fans Suzy udah pada kebal sama ending model beginian, hiksT_T (duh jadi spoiler)
  • okayy, pokoknya senang sekalilah bisa ketemu Temen2 sekalian di sini^^
  • wish you guys are stay health and happy!!! ❤
  • dan seribu cinta untuk kalian semua yang sampai pada catatan inih T_T

10 responses to “[2/2] In The Brick of Decent

  1. Siapa bilang gak ditunggu? Malahan ditunggu tunggu banget ini kelanjutan ff
    Gak terasa ternyta nunggunya udah 2 bulan kkk~
    Iya ya endingnya UF bikin frustasi masa Noeul jdi janda wkwk eh belum dinikahin yaa wkwkwk
    Iya sih ini ff ceritanya happy ending tpi kayanya ngegantung deh :v #peace
    Mungkin bisa dikasih sequelnya thor hehehe
    Over all aku suka bnget dri segi alur ceritanya, latar belakang ceritanya yg tentang peperangan sama cara penyampaian ceritanya. Semuanya kerennnn #acunginjempol kkkkk~
    Next project ditunggu thor 🙂
    Fighting 😀

    • whaa makasih sudah menunggu fiksi tak kawakan ini Devira:”)
      iya dua bulan dan itu luamaaa sekali untuk ukuran fict berdurasi two shoot. (yakkk, ini kesalahan yang bikin :’D)
      eh masih ngegantung? ih ‘ adegan itu’ kan udah tanda jelas kali kalo ini udah final alias no ngegantung 😀 (yang buat maksain teori sendiri banget heh :D)
      aduh, sequel saya ga bisa janji 😀
      tapi tetep, terimakasih atas kesediaanmu menunggu dna me-review fict ini ya^^
      semngat juga untuk kamu~

    • saya ga bisa janji sequel :”D
      nah kalo UF baru kudu ada sequel-nya. itu drama kok drama amat, sedihnya gak ketulungan please :”)
      anywya, makasih ya sudah baca~~

  2. Woaa ternyata sehun adiknya kai iyaa..iii..seneng..liat mereka bahagia…😀 gag kaya UF yg endingnya bikin nih mata kagak berhenti2 buat ngeluarin isinya..😭
    Need sequel dhong thor..

  3. Happy end? Bahasany benar” novel banget,keren,,,,meskipun ada sedikit yg kurang aku mengrti tapi keseluruhan aku menikmati banget membacanya.
    Next ffnya ditungg author fighting

Leave a reply to xianara Cancel reply